Masjid Soko Tunggal yang merupakan sebuah Masjid Keraton Kesultanan Ngayogyakarta terletak di Jln. Taman 1 No. 318, Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika dilihat dari namanya saja kita sudah bisa tahu bahwa masjid ini memang terletak di kawasan Keraton Yogyakarta, dan juga hanya memiliki satu soko, atau tiang penyangga. Umumnya, masjid-masjid kuno di Nusantara selalu memiliki 4 soko guru / penyangga inti, sebagai penopang atapnya. Namun pada masjid ini, soko yang menjadi penopang atapnya hanya 1 dan tentu saja dengan desain sedemikian rupa, masjid ini tetap berdiri kokoh.
Soko Tunggal tersebut diletakkan di tengah-tengah ruangan utama untuk menyangga langsung ke puncak struktur atapnya, dengan pondasi yang biasa disebut dengan Umpak Batu (Landasan Batu). Umpak Batu tersebut sudah berasal dari zaman kekuasaan Sultan Agung Hanyokro Kusumo, salah seorang Raja Besar Kesultanan Mataram Islam pada kala itu. Seperti bangunan masjid-masjid lain yang sudah berumur tua, Masjdi Keraton Soko Tunggal ini juga tidak menggunakan Paku Besi untuk menyambungkal beberapa bangunannya, hanya dengan struktur kunci untuk menyambung masing-masing bagian kayunya.
Sejarah Pembangunan Masjid Soko Tunggal
Ada sebuah prasasti yang dibangun di Masjid Keraton Soko Tunggal yang menunjukkan Tarikh pembangunan masjdi ini. Berdasarkan prasasti tersebut, Masjid Keraton Soko Tunggal didirikan pada hari Jum’at Pon, 21 Rajab 1392 Hijriah, atau bertepatan dengan 01 September 1972 Masehi. Masjid ini diresmikan penggunaannya oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 28 Februari 1973.
Pembangunan masjid ini merupakan ide dari masyarakat setempat yang kemudian di akomodasi oleh pihak keraton. Pada saat itu, memang belum ada masjid yang dapat digunakan oleh masyarakat setempat, sehingga sholat jum’at berjamaah masih dilakukan di salah satu gedung komplek Tamansari, yaitu gedung Kedung Penganten.
Arsitektural Masjid Keraton Soko Tunggal
Perancangan bangunan Masjid Keraton Soko Tunggal dilakukan oleh R. Ngabehi Mintobudoyo (Alm.), yaitu arsitektur asli keratonan Ngayogyakarta yang terakhir. Dirancang memiliki bangunan dengan denah joglo, dengan satu menara yang terbuat dari besi, dan satu soko penyangga dengan ukuran 50 cm x 50 cm.
Bangunan masjidnya memang sangat kental dengan corak budaya jawa, dimana atap masjid dibentuk joglo, ditambahkan 4 soko brunjung, dan 4 soko bentung. Dua Umpak yang berukuran besar menjadi landasan bagi bangunan ini.
Bangunan Masjid Keraton Soko Tunggal dibangun seluas 900 meter persegi, sebuah lahan yang diwakafkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Bangunan masjidnya berukuran sekitar 10 m x 16 m, ditambah dengan bangunan serambi dengan ukuran 8 m x16 m, sehingga luas bangunan keseluruhan mencapai 288 mter persegi dan dapat menampung hingga 600 jamaah.
Sebagai bangunan masjid tua, pastinya memiliki filosofi pembangunan yang memang sengaja diimplementasikan. Seperti 4 buah soko bentung, 1 buah soko guru, jika dijumlahkan menjadi 5 buah. Filosofi yang bisa diambil adalah sebagai Rukun Islam, dan juga Pancasila. 1 Soko tunggal menunjukkan keesahan Tuhan Yang Maha Kuasa, atau jika dalam Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dibangun juga sebuah Usuk Sorot yang berbentuk sebagai jari-jari payung yang dapat melambangkan Kewibawaan negara dalam melindungi rakyatnya.
Berbagai macam ukiran juga turut memiliki filosofi tersendiri, seperti Ukiran Probo yang melambangkan Kewibawaan, Ukiran Saton yang melambangkan Sawiji, dan ukiran Sorot yang melambangkan cahaya. Selain itu ada juga Ukiran Tlacapan yang berarti teguh pendirian, Ceplok-ceplok yang berarti memberantas kejahatan, dan Miron yang berarti kelak seluruh makhluk akan kembali kepada penciptanya.