Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin terletak di Jln. MT Haryono RT/RW 01/05, Kelurahan Cikoko, Kecamatan Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin sendiri bisa dibilang cukup unik jika dilihat dari segi arsitektur bangunannya, karena sudah mampu menerapkan konsep bangunan modern padahal dibangun pada awal abad ke-20. Pada awal abad tersebut, umumnya hampir keseluruhan masjid pada masanya masih menggunakan tiang-tiang Soko Guru sebagai penopang struktur atapnya. Namun pada Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin, kita tidak akan menemukan Soko Guru tersebut.
Bangunan utama Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin memang memiliki dasar konsep yang sama dengan masjid-masjid lain pada umumnya. Yaitu memiliki struktur atap joglo dengan penempatan kubah bawang berbahan metal dibagian puncaknya. Konsep seperti ini sedang populer di abad ke-21, dan masjid ini sudah menerapkan konsep tersebut hampir 100 tahun yang lalu.
Sejarah Pembangunan Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin Cikoko
Menurut sejarah yang diceritakan oleh para pengurus masjid, bangunan Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin sudah didirikanpada sekitar tahun 1928 oleh H. Mursan bin Thaifin atau lebih terkenal dengan sebutan “Kiai Kucang”. Pembangunan memakan waktu hingga 6 tahun, dan baru selesai dan difungsikan pada tahun 1933.
Pada awal rencana pembangunannya, masjid ini sudah mengalami berbagai kontroversi karena banyak ulama dan para masyarakat yang kurang setuju terhadap pembangunan masjid ini. Hal ini ditengarai oleh sudah ada sebuah masjid lain yang berada di lokasi tersebut, yaitu Masjid Al-Atiq Kampung Melayu.
Namun, Kiai Kucang tetap bersikeras untuk mendirikan sebuah masjid baru, mengingat lokasi dari Kampung Cikoko ke arah Masjid Al-Atiq Kampung Melayu masih bisa dibilang lumayan jauh, apalagi pada saat itu belum ada kendaraan bermotor apapun yang mampu dibeli oleh masyrakat. Pada waktu itu, musholla-musholla lain tidak begitu banyak seperti sekarang. Masyarakat kampung Cikoko pada saat itu harus berjalan kaki untuk menuju ke Masjid Al-Atiq, sehingga kegiatan sholat berjamaah dapat terganggu.
Kemudian, pembangunan pun dimulai pada tahun 1928 oleh Kiai Kucang bersama-sama dengan beberapa rekan dan masyarakat kampung Cikoko. Pada saat selesai didirikanpada tahun 1933, bangunan masjid ini diberi nama “At-Taghwan” oleh masyarakat sekitar. Baru pada tahun 1967 nama tersebut diganti oleh pemerintah daerah menjadi “Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin”. Masyarakat pun setuju dengan perubahan nama tersebut mengingat bahwa Kiai Kucang masih merupakan salah satu murid dari Sultan Maulana Hasanuddin.
Masjid At-Taghwan atau Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin pada masanya menjadi salah satu masjid yang berperan penting dalam kegiatan keagamaan diJakarta. Konon, banyak sekali jamaah haji yang menyempatkan diri untuk berkunjung ke masjid ini setelah selesai melaksanakan ibadah Haji di Tanah Suci Mekah.
Arsitektural Bangunan Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin
Bangunan utama Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin dibangun dengna denah persegi, dengan gabungan desain modern dan tradisional. Masjid ini memiliki atap joglo, dengan kubah bawah dibagian atasnya berbentuk bawang dan berasal dari metal.
Dipojok depan sebelah kanan masjdi dibangun sebuah menara yang unik bertingkat tiga (dilihat dari sisi bangunan luarnya. Puncak pada menara masjid ini juga memiliki kubah bawang berukuran kecil, kemudian dibagian bawahnya terdapat seperti atap bertingkat 2. Pada masanya, menara masjid ini bahkan menjadi salah satu menara tertinggi, namun saat ini bangunan sekelilingnya sudah sangat jangkung mengalahkan menara Masjid Jami’ Maulana Hasanuddin Cikoko.