Masjid Jami’ Adji Amir Hanaoeddin (Hasanuddin) merupakan sebuah masjid bersejarah yang masih berdiri kokoh hingga kini. Bangunan masjidnya berdiri di Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Sejarah Jami’ Adji Amir Hasanuddin
Masjid Jami’ Adji Amir Hasanuddin pertama kali dibangun oleh Raja Sultan Sulaiman pada tahun 1874 M, di wilayah kesultanan Kutai Kartanegara.Pada awalnya, bangunan masjidnya hanya berupa musholla (surau) kecil. kemudian pada tahun 1930, barulah bangunan Surau tersebut di rombak ulang menjadi sebuah bangunan masjid dengan ukuran cukup besar. Pada saat perombakan tersebut, pemerintahan dipegang oleh Sultan Adji Mohammad Parikesit.
Jadi, pembangunan tahap pertama Masjid Jami’ Adji Amir Hasanuddin tahap pertama di lakukan pada masa pemerintahan Raja Sultan Sulaiman, sedangkan untuk tahap kedua dilakukan pada masa pemerintahan cucunya, Sultan Adji Muhammad Parikesit. Seorang yang memprakarsai perombakan tersebut adalah Menteri Kerajaan bernama Adji Amir Hasanuddin yang memiliki gelar Haji Adji Pangeran Sosronegoro. Nama menteri sekaligus pemrakarsa masjid ini lah yang kemudian di pakai sebagai nama masjid ini.
Bangunan yang masih berdiri kokoh hingga saat ini, dan masih asli adalah Menara Masjid , Mimbar Masjid, Mihrab Masjid, dan juga Tiang Soko Guru.
Bangunan masjid ini dirancang menggunakan rumah adat provinsi Kalimantan Timur, dengan atap tumpang tiga berbentuk limass segi empat, sedangkan pada puncaknya terdapat atap limas segi lima. Pada setiap jarak antara tingkatan atap, diberikan beberapa ventilasi udara berupa jendela-jendela kecil.
Saat ini, Masjid Jami’ Adji Amir Hasanuddin sudah resmi dicadikan sebagia salah satu Cagar Budaya, sekaligus Masjid Bersejarah di Indonesia. Sehingga, bagi masyarakat sekitar, tentu saja masjid ini menjadi kebanggaan tersendiri karena memiliki nilai histori yang sangat panjang.
16 Tiang Kayu Ulin (kayu besi) yang ada di masjid ini memiliki histori yang cukup unik. Karena pada awalnya, kayu-kayu tersebut akan digunakan sebagai instrumen untuk adat Ritual Kutai di pemandian Putra Mahkota yang akan naik tahta. Namun sayangnya, sebelum ritual tersebut dilakukan, Putra Mahkota Kerajaan, Adji Punggeuk justru meninggal dunia.
Akhirnya, atas keputusan Adji Amir Hasanuddin, ke-16 tiang tersebut digunakan untuk pembuatan bangunan masjid ini. Ketika sholat subuh sudah selesai dilakukan, para warga bergotong-royong dan membangun masjid ini dengan sukarela (tanpa upah), dan hanya mengharap ridho dari Allah SWT saja.
Arsitektural Bangunan Masjid Jami’ Adji Amir Hasanuddin
Bangunan masjid amir hasanuddin ini seperti bangunan masjid-masjid tradional lainnya, karena memang dibangun ulang pada abad ke-19. Seperti yang dijelaskan diatas, Atapnya berupa limas (joglo) bertumpang tiga, sedangkan pada bagian puncaknya (tingkat ketiga) atapnya berwujud limas segi lima.
Disamping bangunan utama, terdapat tempat wudhu yang juga dibuat dengan atap limas bertumpang dua, terlihat menyatu dengan bangunannya.
Kemudian, satu menara juga turut dibangun disamping masjid, dengan balutan warna putih dan dengan desain yang sangat simple.menara tersebut terdiri dari 3 tiang batu bata, dengan puncak yang dibentuk seperti kubah kecil.
Seluruh struktur bangunan masjidnya tidak menggunakan paku besi satupun, dan hanya menggunakan struktur kunci dari kayu-kayu yang ada. Meskipun begitu, masjid ini sudah bertahan hingga 88 tahun lamanya (1930 – 2018).
Masuk kedalam masjid, kita akan menemukan ruangan yang lumayan luas dan klasik. Kita dapat menemukan beberapa bagian bangunan masjid yang masih asli seperti mihrab, mimbar, dan juga tiang soko gurunya.