Langgar Agung Pangeran Diponegoro terletak di Ds. Menoreh, Kec. Salaman, Kab. Magelang, Provinsi Jawa Timur. Meskipun diberi nama Langgar Agung Pangeran Diponegoro, namun bukan berarti bangunan masjid ini dibangun langsung oleh dan pada masa Pangeran Diponegoro. Pembangunannya dilakukan sekitar tahun 1950 dan membutuhkan waktu hingga 22 tahun untuk menyelesaikannya. Masjid ini kemudian diselesaikan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau pada saat itu masih disebut dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1972.
Kemudian pembangunan pun kembali dilanjutkan dengan membangun sebuah bangunan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pangeran Diponegoro Salaman, dan juga pembangunan komplek Pondok Pesantren Nurul Falah Salaman.
Pembangunan Masjid Agung Pangeran Diponegoro mengambil tempat dari petilasan daerah yang ditinggalkan oleh para pasukan Laskar Pangeran Diponegoro. Jenderal Sarwo Edi Wibowo, pada tahun 1960-an kemudian memiliki inisiatif untuk mendirikan sebuah masjid di petilasan tersebut, dengan bagian mihrabnya berada di sebuah batu susun yang didirikan oleh pasukan Pangeran Diponegoro tersebut.
Bangunan masjid yang saat ini bisa kita lihat merupakan rancangan arsitektural dari seorang warga belanda beragama Islam. Pembangunan Masjid Agung Pangeran Diponegoro selesai dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 08 Januari 1972 oleh Mayjen Munadi, Gubernur Jawa Tengah yang menjabat kala itu, bersama dengan AKABRI Mayjen Sarwo Edi Wibowo, Bupati Magelang yang menjabat pada saat itu. Beberapa tokoh masyarakat juga turut menghadiri peresmian tersebut seperti Drs. Ahmad dan Muhammad Kholil. Setelah diresmikan, pengelolaan Masjid Agung Pangeran Diponegoro kemudian diserahkan kepada H. Fathoni dan A. Nurshodiq.
Arsitektural Masjid Agung Pangeran Diponegoro
Jika dilihat sekilas, Masjid Agung Pangeran Diponegoro mengadopsi arsitektur bergaya Belanda, karena memang arsitekturnya merupakan keturunan asli Belanda, namun beragama Islam. Bahkan jika dilihat dari samping, bangunan masjid ini lebih mirip dengan bangunan gereja daripada bangunan sebuah masjid.
Bangunan Masjid Agung Pangeran Diponegoro memiliki 6 kubah, terdiri dari 1 kubah utama beruuran paling besar diatap tengah-tengah ruang utama sholat, kemudian di kelilingi oleh 4 kubah kecil di atas menara pendek di penjurunya. Sedangkan 1 kubah lagi ditempatkan diatas bangunan menara yang paling tinggi yang dibangun diatas ruang serambi masjid. Pola arsitektur masjid seperti ini juga bisa anda temukan pada Masjid Cipari, Garut, Jawa Barat, yang juga mengadopsi arsitektural bangunan sebuah gereja.
Bangunan masjid ini saat ini diberi warna Hijau yang mendominasi diseluruh bagian luar, dengan warna merah di bagian atapnya. Warna hitam dan putih di berikan kepada pintu dan jendela masjid, dan terlihat sangat kontras namun indah.
Al-Qur’an Kuno Tulisan Tangan
Keunikan dari komplek wilayah Masjid Agung Pangeran Diponegoro terletak pada sebuah peninggalan artefak berupa Al-Qur’an Kuno dengan tulisan tangan asli. Mushaf tersebut hingga saat ini disimpan di Pondok Pesantren Nurul Falah Salaman.
Menurut cerita dari pengurus Pondok Pesantren, Mushaf tersebut emrupakan tulisan tangan dari Mbah Abdul Aziz yang dikenal sebagai salah satu anggota Laskar Pangeran Diponegoro. Mushaf Al-Qur’an tersebut memiliki tebal sekitar 12 Cm, 400 Halaman, dan berat hingga 1,5 Kg, bersampul kulit. Kemungkinan berasal dari kulit kerbau ataupun sapi yang sudah di keringkan. Namun saat ini sampul tersebut sudah patah dan disatukan kembali dengan perekat.
Al-Qur’an tersebut di tulis pada masa-masa perjuangan Pangeran Diponegoro, bersama Laskar beliau yang sangat setia menemani dalam setiap perjuangannya dari tahun 1825 hingga 1830. Al-Qur’an tersebut ditulis dengan bahan tinta dari lidi aren, dan masih awet hingga kini meskipun di prediksikan bahwa usia mushaf tersebut sudah lebih dari 170 tahun.