Langgar Al-Yahya Gandekan terletak di Jln. Gandekan RT/RW 01/07 No. 15, Desa Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Bangunan Langgar Al-Yahya ini juga menjadi salah satu bangunan tua dengan sejarah tinggi yang dimiliki oleh Kota Semarang.
Langgar atau Mushola ini didirikan pada tahun 1815, dan merupakan salah satu sisa-sisa tanda-tanda kejayaan Taspirin, yaitu salah satu tuan tanah yang begitu berjaya pada masanya serta mampu untuk menguasai hampir keseluruhan daerah Semarang.
Pada masa kejayaannya, Kampung Gandekan ini merupakan kampung yang hanya dihuni oleh Karyawan Taspirin, bahkan beberapa kampung sekitar juga dihuni oleh etnis tersebut. Namun saat ini, Kampung Gandekan dihuni oleh warga cmapuran, bahkan hampir separo dari penduduk Gandekan adalah Etnis Tionghoa.
Meskipun Langgar Al-Yahya Gandekan ini sudah berumur lebih dari 200 tahun, namun bangunan masjidnya tetap di pertahankan seperti asilnya, mengingat masjid ini pernah menjadi saksi sejarah yang sangat lama. Bagian yang hanya diganti adalah bagian tembok yang semula berasal dari anyaman bambu menjadi tembok.
Dari bagian kusen jendela dan pintunya, kita masih bisa melihat kayu-kayu asli yang sudah berumur lebih dari 200 tahun. Tidak hanya bagian itu saja, namun berbagai interior bangunannya juga turut dijaga kelestariannya oleh para pengurus Langgar. Hal ini dilakukan secara turun-temurun dari generasi ke generasi pengurus masjid, untuk tetap mempertahankan keaslian keseluruhan bangunan masjid ini, namun jika terpaksa renovasi perlu dilakukan, hal yang boleh diganti bukanlah merupakan bangunan aslinya, namun hanya beberapa bangunan yang mungkin akan membahayakan bagi keseluruhan bangunannya.
Dari tahun 1815, pengurus Langgar Al-Yahya Gandekan ini hanya mengganti genting dan juga penambahan porselin pada bagian temboknya, karena memang dulu atapnya hanya terbuat dari ijuk dan temboknya hanya dari anyaman bambu.
Arsitektur Langgar Al-Yahya Gandekan
Pengurus dan warga sekitar Langgar Al-Yahya Gandekan memang sengaja untuk tidak merubah keaslian bangunannya. Seperti disebutkan diatas, bagian bangunan yang diganti hanyalah Genting dan juga Tembok saja. selain itu, seluruh ornamen dan interior maupun eksteriornya masih asli dari tahun 1815.
Langgar Al-Yahya Gandekan memiliki kubah yang unik yaitu berbentuk bunga diatas ruang sholat utama yang berukuran 8 x 40 meter. Kubah tersebut menunjukkan bahwa budaya pada masa itu masih kental dengan budaya hindu, maka dari itu bangunan masjidnya memang sengaja untuk mengadopsi salah satu aspek bangunan hindu.
Lalu, dibagian dinding atas Mihrab (ruang imam) terdapat kaligrafi lama yang bertuliskan Allah dan Muhammad, lalu disekeliling plafon terdapat lukisan 2 kalimah syahadat yang sengaja dilukis dari bahan malam (bahan utama untuk melukis batik).
Kemudian untuk bagian lantainya, Langgar Al-Yahya Gandekan masih menggunakan kayu jati yang dari dulu masih awet dan belum pernah diganti sekalipun. Kemudian terdapat juga sebuah tangga kuno yang menjadi penghubung antara ruang utama dengan bagian atas plafon yang juga terbuat dari kayu jati.
Banyak sekali orang dermawan yang menawarkan bantuan untuk memberikan bantuan dana bagi masjid ini, seperti penggantian keramik pada bagian lantainya, serta berbagai renovasi lainnya. Namun, bantuan-bantuan tersebut ditolak oleh para pengurus masjid, karena mereka memiliki pedoman kuat untuk tetap mempertahankan masjid ini agar tetap menjadi masjid tua yang penuh dengan sejarah.
Bangunan Langgar yang menjadi salah satu peninggalan Taspirin ini sekarang sudah dijadikan sebagai salah satu Cagar Budaya Kabupaten Malang. Bahkan Walikota Semarang, Sukawi Sutarip, pada saat berkunjung ke Langgar Al-Yahya pada tahun 2002 lalu pernah berpesan agar bangunan masjid ini harus di pertahankan seperti aslinya.