Masjid Al-Mabrur dijadikan sebagai sebuah Masjid Agung untuk wilayah Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung. Atau lebih tepatnya berada di Jln. Sekolah, Kota Tanjugn Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berseberangan dengan Tugu Pendidikan dan juga SDN 9 Tanjung Pandan.
Karena menjadi sebuah Masjid Agung otomatis memiliki letak yang sangat strategis, dan juga tidak pernah sepi oleh pengunjung. Karena itu, masjid ini dibuat dengan ukuran yang lumayan luas untuk menampung jamaah yang senantiasa ramai, terutama pada saat sholat berjamaah pada waktu Sholat Dzuhur dan Asyar.
Sejarah Pembangunan Masjid Agung Al-Mabrur
Wilayah berdirinya Masjid Agung Al-Mabrur ini dulunya merupakan sebuah daerah Huma atau ladang luas, sehingga wilayah tersebut dikenal sebagai Kampung Ume. Kampung Ume pertama kali didirikan oleh Kiai Ageng Mohammad Saleh pada tahun 1854 yang saat itu menjadi Depati Pulau Belitung bergelar Tjakraningrat IX.
Pada tahun 1854, kekuasaan dipegang oleh Kiai Ageng Mohammad Saleh menggantikan kakaknya, Kiai Ageng Rahat. Beliaulah yang memindahkan pusat pemerintahan ke Kampung Ume, diikuti oleh sebagian besar Bangsawan, dan wilayah tersebut kemudian dikenal dengan Kampung Raje.
Pada wilayah Kampung Raje inilah kemudian Tjakraningrat IX membangun sebuah masjid dengan bahan baku kayu pada awalnya pada tahun 1868. Kemudian pada tahun 1870 dibangun kembali dengan permanen dengan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah selesai pembangunan tersebut, bangunan masjid kemudian dinamakan dengan “Masjid Depati Saleh”, yang merupakan cikal bakal dari Masjid Al-Mabrur yang kita kenal saat ini.
Meskipun letaknya jauh dari kantor pemerintahan Belitung, namun sebagai Masjid Agung tentu saja aktifitas ke-islaman di wilayah tersebut terpusat pada Masjid Agung Al-Mabrur. Seringkali masjid ini digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pelepasan jamaah haji ke tanah suci, maupun tempat penyambutan jamaah haji sepulang dari tanah suci.
Arsitektural Masjid Agung Al-Mabrur Tanjung Pandan
Jika dilihat dari bagian luarnya, masjid ini memang terlihat tidak terlalu megah seperti masjid-masjid agung lain yang terkenal dengan kemegahannya. Masjid ini justru mempertahankan seni bina bangunan aslinya dengan beberapa modifikasi.
Bangunan utamanya memiliki atap limas, namun ditambah dengan sebuah kubah besar berwarna hijau pada puncak atapnya, ditambah dengan beberapa ventilasi dibagian bawah. Ventilasi tersebut dimaksudkan sebagai jalan masuk udara dan cahaya matahari alami.
Kemudian pada bagian bawah bagian luar hampir tidak terdapat tiang penyangga khusus untuk menyangga atap, karena bangunan ini dibuat dengan sangat sederhana. Pintu utama terletak di bagian tengah, langsung menuju akses pada ruang utama untuk sholat. Sedangkan tempat berwudlu dipusatkan pada bagian utara masjid dan tetap dipisahkan antara tempat wudhu pria dan wanita.
Pada bagian pintu utama terdapat sebuah gapura kecil dengan ornamen kubah tembaga yang berukuran sangat kecil di atasnya. Kemudian pada sisi utara terdapat sebuah menara yang digunakan sebagai tempat penampungan air.
Kemudian pelataran dibuat seluas mungkin sampai tepi jalan raya yang bisa digunakan sebagai areal parkir kendaraan, atau sebagai tempat sholat tambahan jika pada bagian dalam sudah tidak muat untuk menampung jamaah.
Dibuat pagar dengan gerbang besi disekeliling bangunan masjidnya, dengan hiasan beberapa bunga dan tanaman lain disekitarnya. Pada bagian depan masjid terdapat tiang bendera yang biasanya digunakan untuk memperingati hari-hari besar Indonesia.
Masuk ke bagian dalam, anda tidak akan menemukan suasana megah disini, karena memang suasana klasik hingga saat ini masih dipertahankan oleh masjid. Mihrab didalam masjid dibuat dengan cerukan kecil, dengan mimbar dibagian sampingnya. Meskipun terlihat sangat sederhana, namun bangunan ini mengandung sejarah penyebaran Islam yang panjang khususnya di daerah Belitung.