Jika kita berkunjung ke Jln. Pekojan II, Desa Pekojan, Kecamatan Tambora, Kota Jakarta Barta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota, dapat ditemukan bahwa ada sebuah masjdi tua yang sama sekali tidak berbentuk sebuah masjid pada umumnya, dan hanya berbentuk seperti rumah hunian masyarkat sekitar.
Pekojan sendiri merupakan wilayah yang pernah menjadi saksi bisu pembantaian ratusan bahkan ribuan orang Tionghoa oleh Batavia karena pemberontakan yang dilakukannya. Namun setelah penjajah berhasil diusir, wilayah Pekojan mulai berangsur pulih dan mulai ramai oleh penduduk sekitar.
Masjid Ar-Raudah sendiri dahulunya difungsikan sebagai tempat perkumpulan anggota Jami’atul Khair (Perkumpulan Kebaikan). Organisasi tersbeut dibentuk oleh Ali dan Idrus, anggota keluarga Shahab, untuk mengumpulkan orang-orang dalam penyebaran Syiar agama Islam.
Organisasi tersebut memang awalnya hanya ditujukan sebagai organisasi penyebaran dan perkumpulan kegiatan Islam. Namun pada masa itu, organisasi ini sempat di curigai oleh pemerintah kolonial belanda dengan mengatasnamakan pemberontakan. Kemudian pada tahun 1903, para pengurus masjid mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda, dan barulah pada tahun 1905 mereka resmi diakui sebagai organisasi kolonial Belanda.
Ide dasar dari pembentukan organisasi Jamiatul Khair ini adalah untuk membimbing para pemuda islam agar tumbuh dengan pemikiran positif sebagai bentuk kebebasan dan kemerdekaan yang juga pernah dilakukan oleh organisasi Budi Utomo pada tahun 1908.
Keunikan Masjid Ar-Raudah Pekojan adalah memiliki sumber mata air yang tidak pernah kering meskipun pada musim kemarau. Padahal kedalaman sumur tersebut pastinya kalah dengan sumur yang saat ini dibuat. Air ini bahkan dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai air yang menyehatkan dan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Masjid Ar-Raudah saat ini sudah terhimpit oleh berbagai bangunan sekitar, dan harus masuk pada sebuah gang kecil di Jln. Pekojan II untuk dapat sampai di Masjid ini. Jika dilihat dari luar, masjid ini didominasi oleh warna putih pada tembok, dan hijau pada jendela dan pintunya.
Dominasi warna seperti ini juga bisa kita temukan pada masjdi di wilayah sekitar yaitu di Masjdi An-Nawier yang terletak di Penjagalan. Memang jika dilihat dari luar bahkan kita tidak akan sadar bahwa bangunan yang sangat mirip dengan rumah hunian biasa tersebut merupakan sebuah masjid, apalagi ada beberapa sofa yang diletakkan di teras untuk para tamu.
Namun, ketika kita masuk kedalam bangunan tersebut, kita akan disambut dengan bangunan layaknya sebuah masjid pada umumnya. Yaitu dibagian depan ruangan terdapat mimbar, rak Al-Qur’an, kemudian lantainya dibalut dengan sajadah panjang. Pada bagian ruangan sebelah pojok kiri dijadikan sebagai tempat sholat untuk jamaah wanita.
Kemudian jika kita masuk pada ruangan selanjutnya (masih di bagian dalam masjid), kita akan menemukan ruangan yang memiliki sekolam mata air yang besar. Mata air didalam Masjid Ar-Raudah ini bahkan menurut penduduk sekitar belum pernah kering sekalipun, dan kedalamannya bahkan tidak diketahui hingga saat ini. Biasanya pada musim kemarau / kekeringan, mata air pada masjid ini digunakan sebagai sumber air untuk mencukupi kebutuhan masyarakat sekitar.
Meskipun hanya memiliki bangunan yang sangat kecil, namuin masjid ini telah mengalami perubahan zaman yang besar, yaitu dari masa penjajahan belanda,hingga kemerdekaan yang dapat kita rasakan saat ini. Paling tidak, masjid dengan bentuk yang hanya seperti rumah ini tetap dipertahankan oleh masyarakat sekitar meskipun sudah ada masjid-masjid lain yang berukuran lebih besar.