Masjid Damarjati yang merupakan Masjid Tertua di Salatiga terletak di Jln. Damarjati No. 05, RT/RW 02/05, Kelurahan Krajan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Tepatnya terletak di sebuah Gang di Jln. Beringin / Damarjati.
Memang jika kita mengunjungi masjid ini, tidak tampak sebuah bangunan masjid yang sangat tua, apalagi kesan yang didapatkan sekilas hanyalah masjid dengan seni bina bangunan modern dan masih tergolong baru. Meskipun begitu, ternyata masjid ini sangat kental dengan cikal bakal sejarah penyebaran ajaran agama Islam di kota Salatiga. Masjid Damarjati menjadi masjid tertua sekaligus masjid yang pertama kali didirikan diwilayah kota Salatiga.
Sejarah Pembangunan Masjid Damarjati
Masjid Damarjati didirikan pertama kali pada tahun 1826, oleh Ki Ronosetiko Laskar Pangeran Diponegoro, yang juga dibantu oleh Kyai Damarjati. Jika dilihat dari sisi sejarah, Masjid Damarjati ini hampir sama persis dengan Masjid Al-Atiiq, Kauman (Jln. KH. Wahid Hasyim No.2), karena dua-duanya sama-sama didirikan oleh Laskar Pangeran Diponegoro.
Masjid Damarjati sudah mengalami beberapa kali renovasi, dan pada salah satu renovasinya dibuat prasasti yang berisi sejarah bagaimana Masjid Damarjati didirikan, dan siapa saja yang terlibat didalam pembangunan kembali bangunan masjid yang hampir runtuh tersebut. Bangunan Masjid Damarjati sudah berusia lebih dari 190 tahun dan hingga kini masih tetap difungsikan sebagaimana mestinya sebagai tempat peribadatan masyarakat setempat.
Masjid Damarjati dibangun diatas lahan seluas 369 meter persegi, dan sudah mengalami 2 kali renovasi yang dilakukan pada tahun 1978 dan pada tahun 2007.
Proses pembangunan ulang besar-besaran dilakukan pada tanggal 29 Desember 1978, ditandai dengan peletakan batu pertama oleh DAM REM 073 Makutoromo, serta Muspida dari Kodim Salatiga. Pada saat dipugar, bangunan masjid ini hampir roboh karena banyak dari bagian bangunannya yang sudah sangat keropos. Pemugaran kedua dilakukan pada tahun 2007, dengan penggantian genteng menjadi esbes, dan juga perubahan kubah yang semula 1 buah kubah utama, dibuat menjadi 2 buah kubah utama. Hingga saat ini, masjid dengan kapasitas sekitar 200 orang ini masih difungsikan sebagai tempat ibadah bagi masyarakat sekitar.
Jika kita masuk didalam masjid yang saat ini, kita akan melihat bangunan baru yang tampak sangat sederhana tanpa ornamen-ornamen yang menghiasi dindingnya. Ruangan didalam bangunan utama terasa sangat sempit, dan terdapat dua ruangan yang terpisah untuk jamaah pria dan wanita.
Dengan dindingnya yang putih berlapis porselen, serta karpet membalut lantai untuk sholat, tidak mengherankan jika tidak banyak orang yang menyadari bahwa masjid ini merupakan sumber cikal bakal penyebaran islam di Kota Salatiga.
Pada awal penyebaran agama islam di Salatiga, 2 ulama yang ditugaskan adalah Kyai Damarjati dan Kyai Rono Sentiko sekaligus menjadi mata-mata untuk mengetahui pergerakan Penjajah Belanda pada saat itu. Hal ini harus dimaklumi karena pada saat itu, Salatiga dijadikan sebagai basis militer oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Pada saat itu, Kyai Rono Sentiko dan Kyai Damarjati kemudian berpisah dan masing-masing membangun sebuah musholla sebagai tempat peribadatan, penyebaran agama islam, sekaligus sebagai tempat untuk menyusun strategi.
Puncak perlawanan terjadi pada saat Perang Diponegoro berakhir, kemudian Mushola yang dibangun oleh dua ulama Laskar Pangeran Diponegoro tersebut dirubah menjadi sebuah bangunan masjid seiring dengan perkembangan jaman. Nama Kyai Darmajati kemudian disematkan untuk nama Masjid dan juga nama Jalan di komplek masjid tersebut,s edangkan nama Kyai Rono Sentiko disematkan pada bangunan masjid “Al-Atiik” yang didirikan pada tahun 1918.